Minggu, 29 Juli 2012

MEMAKNAI INDAHNYA HIKMAH PUASA


Ternyata bukan hanya umat Muhammad saw  yang berpuasa, sejarah mencatat sebelum kedatangan Muhammad saw, umat nabi yang lain telah diwajibkan berpuasa. Ibnu  katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, Nabi Adam as diperintahkan untuk tidak memakan  buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk  puasa pada masa itu.



“ janganlah  kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” (Q.S Al-Baqarah: 35).
Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa  empat puluh hari.  Dalam Q.S Maryam dinyatakan  Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud as sehari puasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw sendiri sebelum diangkat menjadi Rasull, telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut  mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain.
Bahkan masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura. Begitu pula, bintang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindungi dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak,  ia  tak akan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa merupakan sunnah Thobi’iyyah (sunah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia, tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat islam, tentu saja memiliki makna filosofi dan hikmah tersendiri. Karena ternyata, puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri  aaau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk  turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnhahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terkhir yang teramat singkat pada ayat 183 Q.S Al-Baqarah.  Allah swt memerintahkan:
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa  sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu  bertakwa.
Allah mengakhiri ayat tersebut dengan” agar kalian bertaqwa. Syekh Musthafa Shodiq Al-Rafi’ie dalam bukunya “Wahy Al-Qalam mentakwil kata “Takwa” dengan kata ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala  bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama dan menjaga humanisme dan  kodrati manusia dari prilaku layaknya binatang.
Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti, generasi kini atau esok. Dalam ibadah puasa, islam memandang sama derajat manusia. Mereka memiliki dolar atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama; lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia- diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia - diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensistifitas manusia dengan metode amaliah(praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri.
Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan  rasa, atau manusia turut merasakan  bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut melaksanakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan  segala macam hawa nafsu. Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya  ada 3 fungsi puasa: Tazhib, Ta’dib, dan Tadrib.
Puasa adalah sarana untuk  mengarahkan (Tazhib), membentuk karakter  jiwa seseorang (Ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna(Tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: Takwa. Takwa  dalam pengertian yang lebih umum  adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan keshalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang  yang sama, mengintegral dan tidak dapat dipisahkan. Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya ”Cinta” timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa.
Dengan jelas dan akurat, islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau, kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar  terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih  kasih sayang  jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendekia dan yang awam, serta yang teratur dan  yang mengejutkan. Jika cinta antara  orang kaya yang lapar terhadap orang miskin tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekusaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah  dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian  yang tulus, “iimaanan wa ihtisaaban”.  Semua karena Allah, karena hanya Dia sang pemilik segalanya.
Semoga Bermanfaat.

Sumber referensi:
·         Al-Quran
·         Musthafa Shadiq Al-Rafi’ie. Wahy Al-Qalam Jilid II.
·         Tafsir Ibnu  katsir

Penulis: Anjar Riyadi